Life Traveler x Kawah Putih
11:12 PM
Tulisan itu sangat hebat
bukan? Betapa dia mampu memengaruhi pikiran dan perasaan orang. Begitulah yang
saya rasakan kali ini. Life traveler, sebuah buku yang akhirnya saya temukan di
perpustakaan, mengajak saya untuk mengingat kembali tentang perjalanan. Sudah
seberapa jauh perjalanan saya?
Tentu saja saya telah
melangkah lebih jauh, setidaknya dibandingkan dari terakhir kali saya menulis
di blog ini. Tahun 2015 lalu merupakan tahun yang berarti di mana satu target
telah tercapai. Setelah melawan rasa malas, galau dan ketidaktahuan, akhirnya
pendidikan tinggi terselesaikan. Tamat, lulus, begitulah kata yang tepat untuk
menggungkapkannya.
Bulan pertama tahun 2016
hampir terlewati. Meski saya bukan orang yang gemar menuliskan daftar resolusi
setiap tahun baru, tapi selalu ada harapan dan doa yang terselip di antara
keriuhan kembang api pergantian tahun. Bahkan harapan dan doa itu selalu
terucap setiap waktu, untuk menjadi yang lebih baik dan lebih berarti. Mungkin
terdengan klise, tapi begitulah.
“Saya tak akan bisa menyerap apa pun bila tak membiarkan diri saya kosong. Saya tak akan menjadi siapa-siapa kalau tidak bisa berangkat dari pemikiran saya ini bukan siapa-siapa.”
“Saya tak akan bisa menyerap apa pun bila tak membiarkan diri saya kosong. Saya tak akan menjadi siapa-siapa kalau tidak bisa berangkat dari pemikiran saya ini bukan siapa-siapa.”
Bagi saya, 2016 menjadi tahun untuk mulai belajar. Belajar apa saja dan dari mana saja. Belajar hal-hal baru yang saya temui dan yang membuat saya tertarik. Menyerap energi positif dari orang-orang di sekitar, bahkan orang-orang di social media yang tidak saya kenal secara personal. Iya. Belakangan ini saya kembali rajin mengakses Facebook dan Twitter. Saya rindu membaca.
“Kata orang, saat kita berhenti mencari, saat itulah kita justru menemukan apa yang kita cari. Saat kita tak bersiap untuk sebuah kejutan, hidup justru memberikan banyak kejutan.”
Pada bagian Kisah dari Teman Sepermainan, Dominique Diyose mengisahkan perjalanannya bersama sahabat ke Kawah Putih, Bandung. “Aku yakin, Tuhan pasti sedang dalam mood yang baik sekali ketika menciptakan Kawah Putih ini,” tulisnya mengagumi. Tulisan ini membuat saya melirik satu foto yang tergantung di atas tempat tidur saya. Foto yang menggambarkan empat orang sahabat sedang berpelukan dan tertawa dengan background kabut Kawah Putih. Tidak puas, saya mencari folder berisi foto perjalanan ke Bandung saat itu.
Hari itu terlalu sore
untuk berkunjung ke Kawah Putih apalagi bulan November, musim penghujan. Kami
tiba di Bandung pada pagi hari itu, tak ingin membuang waktu kami menuju
Bandung Selatan. Sebelumnya, kami sudah mengeksplor Situ Patengan dan bermain
di kebun teh yang ada di tepi jalan. Tentu saja sangat disayangkan jika kami
tidak singgah ke Kawah Putih.
Sepeda motor yang kami
kendarai harus diparkir di bawah, sebagai penggantinya Ontang Anting siap
mengantar kami ke atas, ke Kawah Putih. Setelah melewati jalanan khas
pegunungan, naik-turun, dengan kecepatan cukup lumayan, kamu akan tahu kenapa
kendaraan itu diberi nama Ontang Anting. Setidaknya itu menurut kami.
Saat itu, semesta berbaik
hati menyambut kedatangan kami di Kawah Putih, hujan reda. Kami menikmati
suasana itu, pemandangan itu, momen itu meskipun bau belerang cukup tercium.
Kawah Putih bisa lebih cantik dari ini, jika saja bukan musim penghujan. Warna
hijau tosca yang khas tampak malu-malu sembunyi diantara dominasi warna putih.
Tak apa, suatu saat mungkin kami harus kembali. Dan, tak lupa kami abadikan Kawah
Putih bulan November dalam jepretan kamera.
Seperti pengingat untuk
pulang, hujan turun.
“We just need to stay away for a moment to get back home.”
“We just need to stay away for a moment to get back home.”
0 comments