Dieng: #ChasingFog
7:58 AMOne's destination is never a place, but a new way of seeing things. – Henry Miller |
Jam 22.00, kami memulai perjalanan dengan membelah ramainya kota Jogja – Magelang- Temanggung – Wonosobo. Bukan Wonosobo, tapi Dienglah yang menjadi tujuan kami kali ini. Sekitar pukul 3.00 dini hari kami sampai di Dieng, berhenti di depan sebuah masjid beristirahat di mobil sambil menunggu adzan Subuh.
Dieng / Dataran Tinggi Dieng terletak 30 km dari kota Wonosobo, tepatnya berada di perbatasan Banjarnegara dan Wonosobo. Dieng berasal dari bahasa Sansekerta yaitu 'Di' yang berarti tempat yang tinggi dan 'Hyang' berarti tempat para dewa dewi. Kemudian diartikan sebagai tempat kediaman para dewa dan dewi. Ada juga yang mengartikan dari bahawa Jawa yaitu 'adi' berarti indah dan 'aeng' berarti aneh. Penduduk setempat kadang mengartikannya sebagai tempat yang indah dengan suasana spiritual.
Setelah sholat Subuh kami
bergegas. Berbekal denah dan informasi sana sini kami menuju Sikunir. Dari
Telaga Warna masih terus, lokasinya dekat dengan Telaga Cebong. Cuma itu yang
kami tahu. Sisanya, coba jalan saja. Sial, jarak pandang yang hanya beberapa
meter cukup menyulitkan.
Mendung dan matahari
sudah mulai naik tak membuat semangat kami surut untuk mencapai bukit Sikunir. Perjalanan menaiki bukit
ini tak memakan waktu lama, mungkin sekitar 15 menit dengan medan yang
sudah berupa tangga bebatuan dan tanah.
Bukit/Gunung Sikunir ini berada di ketinggian 2350 mdpl yang berada di Desa Sembungan, yang disebut-sebut sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Satu tempat yang diincar untuk berburu sunrise di Dieng apalagi puncak Sikunir menawarkan keindahan Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi dan Ungaran yang terlihat jika cuaca cerah.
Jangan sebut kami pemburu
sunrise, karena kami adalah pemburu kabut. Ada yang lebih sial dari itu? Ada.
Dalam hitungan detik sembari kami mengatur nafas yang tersengal-sengal, hujan turun. Kecewa? Sedikit.
Setidaknya matahari yang sudah naik sempat kami lihat di antara puncak gunung
yang bersentuhan kabut. Hal yang paling saya suka pun ada di sana, ranting
pohon.
Hujan semakin deras, kami
putuskan untuk turun. Kali ini, perjalanan turun lebih susah tapi tidak
melelahkan. Medan jalan yang licin adalah alasannya. Awasi pijakanmu, kataku
dalam hati. Apa yang kami kenakan
saat itu tak ada yang luput dari basah. Bahkan seorang dari kami sempat
terpleset hingga celananya berlumuran tanah. Di antara kami semua tak ada yang
membawa celana ganti, setidaknya ada kain yang bisa menutupinya kan?
Kami berteduh dan
menghangatkan diri di dalam mobil, berharap hujan segera reda. Oh terjawab!
Hujan reda. Tentu saja kami tak ingin melewatkannya apalagi pemandangan
disekitar menyejukkan mata. Bukit-bukit hijau, kabut, dan Telaga Cebong.
Telaga Cebong adalah
sebuah telaga yang berada Desa Sembungan,
dengan ketinggian 2300 mdpl, dekat dengan Bukit Sikunir. Nama ‘Telaga Cebong’ didapat karena dulu ditemukan
banyak anak katak (kecebong) di tepian danau. Selain itu, dari bentuknya pun
sedikit mirip dengan kecebong. Air di telaga ini yang sangat bersih dan jernih
menawarkan ikan yang cukup melimpah. Jadi tak heran jika terlihat beberapa
orang memancing di sana.
Lokasi beberapa obyek
wisata di Dieng cukup berdekatan. Tapi jika tidak ingin kelelahan berjalan kaki
karena tak ada kendaraan pribadi, saya melihat ada pangkalan ojek wisata atau penginapan di sini pasti menawarkan berbagai kemudahan lainnya.
Selanjutnya kami menuju
Telaga Warna dengan jarak tempuh sekitar 10 menit. Dengan membayar karcis Rp
2.000/orang, pengunjung bisa menikmati Telaga Warna dan Telaga Pengilon.
Dinamakan Telaga Warna karena pergantian air telaga, kadang berwarna hijau, kuning atau berwana-warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena air memiliki kandungan sulfur cukup tinggi sehingga saat terkena sinar matahari maka air telaga nampak berwana-warni. Suasana telaga ini sangat memikat. Dari beberapa foto yang saya ambil mengesankan suasana mistis dan sunyi dengan beberapa pepohonan dan kabut putih.
Hujan turun lagi. Kami
setengah berlari menuju mobil. Alih-alih menunggu hujan reda kami bersantai di
mobil. Beberapa dari kami tidur dan beberapa lainnya nyemil sambil mengobrol.
‘Nggak reda. Mau jalan
aja?’ kata seorang teman. Sepuluh menit kemudian kami masih ada di mobil tapi
sudah berada di area parkir Kawah Sikidang. Lagi-lagi hujan deras, tambah lagi
bau belerang yang sangat menyengat. Membuat kami merasa lebih baik di mobil.
Tak lama kemudian kami memutuskan untuk mengucap pisah ke Kawah Sikidang dan
Dieng.
Hari sudah terlalu siang
untuk menyebut sarapan saat kami akhirnya makan di Mie Ongklok Longkrang. Setidaknya
perut terisi untuk bekal perjalanan pulang.
"Going back or going home?" – Life Traveler
*credit: www.indonesia.travel
*more photos visit my instagram @nikaresti
*say hello to my friends:
*more photos visit my instagram @nikaresti
*say hello to my friends:
Hanan - Rifa - Roma - me - Soebur - Jo |
0 comments