'Wisata Arsitektur' di Kota Semarang, dari Lawang Sewu hingga Kota Lama
3:46 PM![]() |
'Wisata Arsitektur' di Kota Semarang, dari Lawang Sewu hingga Kota Lama |
“Orang sini liburan ke Jogja, mbaknya orang Jogja malah liburan ke sini.”
Kalimat itu kembali saya dengar dari seorang driver ojek online yang mengantarkan
saya ke daerah Pecinan Semarang minggu lalu. Sebelumnya, saya pun mendapatkan
pernyataan serupa ketika bertukar cerita singkat bahwa saya baru saja dari
Pulau Harapan. Disitulah kemudian driver taksi
online yang mengantarkan saya ke stasiun Pasar Senen berkata ‘orang Jogja malah
main ke Jakarta ya, mbak’.
Ah, kembali ke awal. Driver
ojek online yang asli orang Semarang itu pun kembali bertanya yang langsung
saya iyakan dengan semangat. “Cari suasana baru ya, mbak?” katanya.
Ya, tentu saja! Meski Jogja punya banyak obyek wisata
menarik baik itu di kota ataupun masing-masing kabupatennya, ada kalanya orang
asli Jogja seperti saya pun butuh keluar. Entah untuk refreshing, mencari suasana baru dan memperkaya pengalaman.
Meski bukan kali pertama ke Semarang, tapi rasanya tetap
seru menjelajah kota ATLAS ini. Apa saja sih hal menarik yang bisa ditemukan
atau dilakukan di sana? Nah, ini dia...
Memulai Wisata
Arsitektur di Lawang Sewu
Hujan seakan menyambut kedatangan saya di Semarang minggu
lalu. Begitu turun di daerah Sukun, saya dan teman-jalan pun lanjut naik BRT
Jateng untuk menuju Lawang Sewu. Ya, Lawang Sewu seakan jadi titik start untuk
wisata arsitektur di Semarang. Saya sebut ‘wisata arsitektur’ karena melihat
tujuan wisata kami ke kota Semarang yang sebagian besar berupa bangunan,
katakan saja Lawang Sewu, Kota Lama hingga Kampung Pelangi.
Tahun 2011 adalah pertama kalinya saya ke Lawang Sewu. Dari
kunjungan itu, Lawang Sewu meninggalkan kesan bangunan kuno yang cukup mistis.
Apalagi, saat itu saya sempat turun ke penjara bawah tanahnya. Namun, pandangan
itu kini berubah, Lawang Sewu tampil lebih modern dan lebih berwarna dibeberapa
sisinya.
Menyicipi Kopi Gedhis
di Tekodeko Koffiehuis
Nasi Goreng Pak Karmin menjadi menu makan malam kami.
Sebagai pecinta nasi goreng, saya merekomendasikannya, enak!
Setelah makan malam, gerimis kembali turun. Berbekal payung,
kami berjalan kaki menuju Tekodeko yang ada di kawasan Kota Lama. Saya memilih
Kopi Gedhis yang sepertinya cukup jadi favorit di sini. Sayangnya, rasanya
terlalu manis bagi saya. Setelah membaca di sini, Kopi Gedhis ini berbahan
dasar gula jawa, kopi dan susu.
Jalan-jalan di Kota
Lama
Setelah malam yang sangat panjang (penyebabnya nanti saya
tulis di bawah ya), saya senang akhirnya pagi juga. Tanpa sarapan, kami pun
bergegas menuju Kota Lama. Kali ini kami memilih untuk jalan kaki saja, toh tidak terlalu jauh dari Pecinan dan
sekalian olahraga.
Begitu sampai di kawasan Kota Lama, kami sempatkan untuk
duduk sebentar di Taman Srigunting sambil memandangi Gereja Blenduk dan Gedung
Marba diseberangnya. Barulah setelah itu kami lanjut berjalan-jalan.
Sambil menikmati nuansa Semarang tempo dulu dan berfoto saat menemukan spot menarik, saya pun spontan membandingkannya dengan ingatan saya saat ke Kota Lama di 2015 silam. Semacam ‘eh kayaknya dulu di sini ada bangunan’, ‘sini dulu spot hits lho, sekarang udah dicat lagi pintunya’ atau ‘wah ada museumnya’. Ah, ternyata saya berisik ya.
Kini, Kota Lama tampil lebih memanjakan wisatawan lho.
Maksudnya, ketika sudah lelah berkeliling, kita bisa duduk-duduk di kursi yang
sudah disediakan di sepanjang jalan utama. Selain itu, ada pilihan wisata lain
yaitu ke Old City 3D Trick Art Museum Semarang.
Warna-warni Kampung
Pelangi
Salah satu yang membuat saya ingin mendatangi Kampung
Pelangi adalah video klip lagu Hai milik Monita Tahalea. Niat hati ingin
menyusuri perkampungan ini dengan riang gembira, sayangnya energi kami terkuras
dan butuh asupan makan. Akhirnya kami hanya menyusuri tepian kampung cantik
ini, sambil sesekali berfoto.
Siang di Klenteng Sam
Poo Kong
Berkunjung ke Klenteng Sam Poo Kong di siang hari memang
cukup panas, tapi syukurlah di bawah pohon besarnya ada beberapa kursi yang
bisa digunakan. Setelah mengumpulkan semangat, barulah kami berkeliling
melihat-lihat klenteng dari luarnya.
Ah, kami juga sempat melihat dua anak perempuan mengenakan
pakaian seperti Putri Huan Zhu sedang berfoto bersama, gemas sekali!
Sepertinya pihak pengelola pun menyadari bahwa klenteng yang
khas warna merah ini sering digunakan untuk berfoto, maka mereka pun memberikan
tanda titik spot foto untuk membantu wisatawan mendapatkan angle terbaik.
Yang Terlewatkan
#1 Melihat Kota
Semarang dari Masjid Agung Semarang
Tahun 2015 lalu saya sempat ke sana. Dulu, saya dan teman mendapat
pinjaman sepeda motor jadi bisa lebih leluasa untuk ke sana kemari.
Dengan naik ke menara Masjid Agung Semarang, kami bisa
melihat cityscape Semarang. Indah
ya... apalagi cuaca saat itu sangat cerah.
#2 Makan Lumpia
Semarang
Sebenarnya saya tidak terlalu suka isi lumpia, banyakan
sayurnya. Namun, nggak tahu kenapa
kalau Lumpia Semarang saya doyan-doyan aja. Makan lumpia pun kemarin nggak kesampaian, karena mau ke Loenpia
Mbak Lien bingung mau naik apa sedangkan mau Go-Food tapi tidak terdaftar di
sana. Jadi, ya sudahlah.
#3 Keliling Kota
dengan Bus Wisata
Sejak hari keberangkatan, teman saya mendapat info tentang
bus wisata ini tapi kami belum tertarik. Nah, malamnya begitu istirahat di
penginapan kami baru mencari tahu sedikit informasi tentang bus wisata ini.
Akhirnya kami putuskan untuk ikut bus wisata setelah dari Kota Lama.
Usai menjelajah Kota Lama, kami naik Trans Semarang untuk
menuju Museum Mandala Bhakti dimana menjadi titik start bus double decker ini. Begitu sampai, kami
mendapati bahwa museum sedang dalam renovasi dan titik start bus wisata
tersebut pindah ke museum-yang-saya-lupa-namanya.
Mungkin lain kali saat di Semarang, saya akan mengandalkan
bus wisata ini saja. Selain gratis, bus wisata ini sudah menjangkau
wisata-wisata populer di kota Semarang. Kurang menyenangkan apa coba?
![]() |
Foto dari https://photo.sindonews.com/view/25299/berkeliling-kota-semarang-dengan-bus-tingkat-wisata |
Notes
Sesuai janji di atas, saya akan menceritakan tentang ‘malam
yang panjang di penginapan’. Bagi saya indikasi penginapan nyaman adalah ketika
bisa tidur nyenyak dan bangun dengan segar di pagi harinya. Sayangnya, kemarin
itu tidak saya rasakan. Pasalnya, hampir setiap jam saya selalu terbangun.
Belum lagi, saya sering kaget dengan AC yang tiba-tiba mengeluarkan suara cukup
berisik. Ya, intinya adalah kami salah memilih penginapan.
Penginapan di daerah Pecinan yang kami tempati memang punya
harga yang relatif murah, jadi mau protes ini itu semacam ‘yeileh... kamu bayar
berapa?’. Namun, rasanya ini cukup keterlaluan hingga saya tidak tahan untuk
menulis review sebenar-benarnya di Traveloka (saya pesan lewat aplikasi itu).
Apakah perlu saya sebut nama penginapannya? Hmm.
0 comments